Minggu, 30 Maret 2014

ANTARA MAHABBAH DAN MAWADDAH

Mahabbah dan Mawaddah, dua kata ini tak aneh lagi dari telinga kita, sering terlintas di pendengaran, ataupun sering terucap melalui lisan.

Makna dari dua kata ini dalam bahasa Indonesia sama, yaitu Cinta. Namun tidak pada penggunaannya dalam bahasa Arab.

Mahabbah bersifat lebih umum. Bisa dirasakan dan Allah anugrahkan kepada semua makhkuk ciptaanNya. Laki-laki dan wanita, muda dan tua, muslim dan kafir, merdeka dan budak, sehat dan sakit, cacat dan sempurna. Hal itu bisa terlihat dalam surat Al Baqarah ayat 165 “Dan dari sebagian manusia ada yang menjadikan tandingan bagi Allah, mereka mencintai tandingan-tandingan Allah itu sebagaimana mereka mencintai Allah”.

Orang kafir juga Allah anugrahkan rasa mahabbah, tapi tidak dengan “Mawaddah”. Kata ini lebih tinggi dan spesisifik dari mahabbah. Mari kita sejenak merujuk ke dalam surat Maryam ayat 96 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, akan Allah berikan kepada mereka wudda (rasa cinta)”.

Layaknya kata Rahman dan Rahim dalam Al Quran, dua kata yang mungkin sama. Namun berbeda dalam pengamalan. Rahman itu kasih sayang Allah buat semua makhluk ciptaannya. Namun Rahim hanya untuk hamba-hamba yang mau beriman kepadaNya.

Allah memuliakan rasa mawaddah. Bahwa rasa ini tidak akan muncul sebelum adanya sakinah. Ya sakinah mawaddah, wa rahmah. Tiga kata yang juga sudah tidak asing di telinga kita. Mungkin hanya sebatas hafal dan tahu. Bahwa do’a itu yang selalu di ucapkan untuk sepasang kekasih, yang telah meresmikan cintanya ke dalam pernikahan.

Namun, berapa orang dari kita yang betul-betul memahami maksud dari kata itu? Atau mungkin hanya sekedar hafal? Namun tidak tahu dengan arti perkatanya?

Duhai kawan, mawaddah itu tidak akan timbul sebelum adanya sakinah. Sakinah adalah kondisi dimana kita bisa merasa nyaman, tentram, menjadi tempat berlindung dikala susah dan sedih. Karena itu, tempat tinggal kita dalam bahasa arab dinamakan “sakan”. Dan karena itu juga, kenapa sesuatu yang mati dalam hukum tajwid disebut sukun.

Karena sakinah, adalah kondisi nyaman kita. Lega tanpa beban. Bisa senyum tanpa tekanan. Bisa tertawa lepas tanpa kebas. Merasa teduh dan kukuh disaat badai berlabuh. Bisa kokoh disaat bahtera hampir roboh. Bisa tegar disaat harapan hampir pudar.

Teman, kondisi sakinah ini tidak akan terbentuk, kecuali karena adanya satu pondasi yang kuat. Dia dinamakan akhlak. Kita bisa nyaman bersama orang yang tuturnya lembut. Tegurnya menghibur. Marahnya cinta. Dan guraunya penghilang lara. Fazhfar bi dzatid diin.

Saat kondisi nyaman ini terlahir. Ketika itulah mawaddah muncul. Cinta tanpa kata. Bersih dan jernih. Tanpa bercak lumpur yang mengeruh. Ini dia cinta yang di tunggu dan diharapkan. Diidamkan. Saat lidah tak mampu berucap. Namun lewat mata dan hati ia terungkap. Saat tangan tak mampu medekap, namun ia terhubung dalam doa dikala senyap.

Ketika mawaddah ini tumbuh subur dan berkembang. Saat itulah rahmah mengambil peran. Duhai, apakah adalagi yang kita harapkan dari sebuah keluarga melainkan kasih sayang? Saat cinta mungkin hanya tinggal sebatas ucap? Saat tampan hanya berbekas di foto pajangan? Saat harta hanya bagian dari potong kehidupan? Saat itulah kita belajar memahami, yang mungkin selayaknya dikasihani. Mungkin saat itu kita seharusnya berkorban, disaat kita butuh belas kasihan. Mungkin disaat itulah kita belajar berbagi kebahagiaan, walau mungkin jiwa ini mulai diisi kehampaan akan harapan.

Namun bukan begitu halnya dengan mahabbah. Ia bisa saja menjadi tolok ukur terbentuknya rumah tangga. Namun terkadang ia ternoda. Ia muncul disaat setan menjadi matanya. Memperlihatkan eloknya saja. Kemudian menutupi tirai kekurangannya.

Siapa yang tahu dengan hati? Makhluk teraneh dan paling berbahaya. Saat ia rusak, rusak semuanya. Dan saat ia baik, baik pula semuanya.

Bukan berarti menyalahkan cinta. Juga banyak dari cinta yang menghasilkan sakinah, kemudian mawaddah, lantas menjadi rahmah.

Dan juga tak jarang mahabbah tadi berujung dengan kata-kata berpisah.

Terkadang sedih, ketika salah seorang al akh ditawarkan seorang akhwat oleh seorang ustad. Pertanyaan pertama yang muncul adalah “Ada fotonya ustad?”. Tidak, itu sama sekali tidak salah. Dan hal itu sangat manusiawi. Trus apa gunanya hadis yang sama-sama kita hafal “fazhfar bi dzatid diin”?

Kembali periksa hati kita. Apa tujuan kita menikah? Jangan-jangan, arah mobil mulai menyimpang dari tujuan.

Dengan SAKINAH insyaAllah akan menghasilkan MAWADDAH.
Tapi dengan MAHABBAH, terkadang bisa berujung dengan FITNAH.

Wallahu a’lam bis shawab.
 
 
Copyright: https://www.facebook.com/islah.saudi/posts/647674818606950?stream_ref=10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar