Minggu, 30 Maret 2014

MAWADDAH DAN MAHABBAH, SEKILAS TENTANG CINTA DAN KECINTAAN

Pertanyaan timbul karena penasaran, mengapa dalam do’a pernikahan, sampai saat ini lebih sering menemukan istillah Mawaddah daripada mahabbah, padahal istilah ini secara harfiah berarti sama-sama kecintaan, kasih sayang, kesukaan.
 
Oke deh, tinjauan ini mungkin masih immature, perlu didalami lebih lanjut, but worth to try on explanation.

Pertama, kata mahabbah dan mawaddah, keduanya merupakan bentuk masdar dari asal kata Hubb dan wudda, yg dalam ilmu sharaf, walaupun lebih sering diartikan sebagai kata benda, tapi dalam kondisi tertentu fungsinya bisa juga sebagai Fi’il (kata kerja). Sehingga boleh diartikan sebagai kesukaan, kasih sayang, ataupun menyukai, menyayangi, tergantung bentuk kalimatnya.

Kedua, untuk mencari perbedaan makna dari mahabbah dan mawaddah, berdasarkan tinjauan tafsir jalallain dan dijelaskan dalam syarahnya Ash-showii, diambil 2 ayat yg mengandung kata mahabbah dan mawaddah.

Untuk ayat pertama, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga).” (QS. Ali Imron : 14)

Dalam ayat ini terkandung kata Hubbun, yang merupakan naluri dasar yang dianugerahkan Allah kepada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Yang memiliki arti kecintaan dan kesukaan.Dalam beberapa tafsir, dijelaskan lebih gamblang, bahwa Hubbun (mahabbah) diartikan sebagai cinta yang bersifat meluap-luap dan bergejolak. Rasa cinta kepada lawan jenis, pada awalnya adalah hubb ini yang muncul. Maka seringkali, katanya orang yg jatuh cinta merasakan diri tidak terkontrol, ada rasa senang yang meluap-luap ketika sedang rindu, ataupun akan sakit se sakit-sakitnya ketika tersakiti oleh yang terkasih. Hal ini terjadi karena sifat yg meluap-luap dan bergejolak itu. Karena sifat ini pula yang kadang hubb ini lebih gampang ditumpangi syahwat dan efeknya impulsif.

Untuk meminimalisir efek yg bergejolak itu ada anjuran dengan berpuasa. Kemudian ada keterangan ,”sayangilah orang yg kamu cintai sekadarnya saja, siapa tahu suatu saat dia akan menjadi orang yang kamu benci”. Karena efek impulsif ini, ketika hubb berubah jadi rasa benci, maka rasa benci tersebut akan sangat besar melebihi rasa hubb nya itu sendiri.

Untuk ayat yang kedua, ” Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal sholeh, kelak Allah yang maha pemurah akan menanamkan dalam hati mereka kasih sayang” (QS Maryam : 96), mengandung kata Wudda (kasih sayang), yang memiliki arti kasih sayang yang diberikan Allah sebagai hadiah atas keimanan, amal sholeh manusia yang disertai keikhlasan dalam melakukannya. Ayat selanjutnya : ” Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah ia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum : 21). Dalam ayat ini mawaddah (wuddan) berarti kasih sayang yang memiliki sifat menentramkan yang dapat diraih dengan pernikahan oleh masing-masing pasangan akan diberi hadiah kasih sayang dan rahmat oleh Allah SWT sebagai karuniaNya. Dalam pengertian ini, wuddan (mawaddah) lebih bersifat khusus, hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman dan bertaqwa aja. Dalam beberapa tafsir dan literatur, Wuddan diartikan sebagai cinta dan kasih sayang yang tidak akan diraih oleh manusia kecuali Allah menghendakinya, hanya Allah yang akan memberi cinta Nya kepada hamba yang dkehendakiNya. Allah yang akan mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu belanjakan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan mendapatkan kebahagiaan cinta jika Allah tidak menghendakiNya. Oleh karena itu diraihnya cinta—wuddan pada satu pasangan itu karena kualitas keimanan dan ketaqwaan ruhani pasangan tersebut. Semakin ia mendekatkan diri kepada sang Maha Pemilik Cinta maka akan semakin besarlah wuddan yang Allah berikan pada pasangan tersebut.

Inilah cinta sebenar-benarnya cinta, bersifat murni, menentramkan dan tidak akan luntur walaupun maut memisahkan. Wuddan inilah yg dalam beberapa keterangan yang mampu menyatukan kembali keluarga didunia, menjadi keluarga yang diridloi oleh Allah di akhirat kelak.

Cinta inilah yang harus kita raih, yang tentu saja dengan meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan diri kita.

Benar apa yang dikatakan seseorang pada suatu ketika, ketika mencoba menguak isi hatinya (uncredited), “semua akan indah pada waktunya”, baru ngerti sekarang maknanya… Semua diserahkan kepada yang Menguasai Isi Hati , Allah SWT untuk menganugerahkan Wuddan pada hati hamba-Nya….




Jakarta, 19 November. 2010

Aah Ahmad K



Copyright: http://kusumah.wordpress.com/2010/11/19/mawaddah-dan-mahabbah-sekilas-tentang-cinta-dan-kecintaan/

ANTARA MAHABBAH DAN MAWADDAH

Mahabbah dan Mawaddah, dua kata ini tak aneh lagi dari telinga kita, sering terlintas di pendengaran, ataupun sering terucap melalui lisan.

Makna dari dua kata ini dalam bahasa Indonesia sama, yaitu Cinta. Namun tidak pada penggunaannya dalam bahasa Arab.

Mahabbah bersifat lebih umum. Bisa dirasakan dan Allah anugrahkan kepada semua makhkuk ciptaanNya. Laki-laki dan wanita, muda dan tua, muslim dan kafir, merdeka dan budak, sehat dan sakit, cacat dan sempurna. Hal itu bisa terlihat dalam surat Al Baqarah ayat 165 “Dan dari sebagian manusia ada yang menjadikan tandingan bagi Allah, mereka mencintai tandingan-tandingan Allah itu sebagaimana mereka mencintai Allah”.

Orang kafir juga Allah anugrahkan rasa mahabbah, tapi tidak dengan “Mawaddah”. Kata ini lebih tinggi dan spesisifik dari mahabbah. Mari kita sejenak merujuk ke dalam surat Maryam ayat 96 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, akan Allah berikan kepada mereka wudda (rasa cinta)”.

Layaknya kata Rahman dan Rahim dalam Al Quran, dua kata yang mungkin sama. Namun berbeda dalam pengamalan. Rahman itu kasih sayang Allah buat semua makhluk ciptaannya. Namun Rahim hanya untuk hamba-hamba yang mau beriman kepadaNya.

Allah memuliakan rasa mawaddah. Bahwa rasa ini tidak akan muncul sebelum adanya sakinah. Ya sakinah mawaddah, wa rahmah. Tiga kata yang juga sudah tidak asing di telinga kita. Mungkin hanya sebatas hafal dan tahu. Bahwa do’a itu yang selalu di ucapkan untuk sepasang kekasih, yang telah meresmikan cintanya ke dalam pernikahan.

Namun, berapa orang dari kita yang betul-betul memahami maksud dari kata itu? Atau mungkin hanya sekedar hafal? Namun tidak tahu dengan arti perkatanya?

Duhai kawan, mawaddah itu tidak akan timbul sebelum adanya sakinah. Sakinah adalah kondisi dimana kita bisa merasa nyaman, tentram, menjadi tempat berlindung dikala susah dan sedih. Karena itu, tempat tinggal kita dalam bahasa arab dinamakan “sakan”. Dan karena itu juga, kenapa sesuatu yang mati dalam hukum tajwid disebut sukun.

Karena sakinah, adalah kondisi nyaman kita. Lega tanpa beban. Bisa senyum tanpa tekanan. Bisa tertawa lepas tanpa kebas. Merasa teduh dan kukuh disaat badai berlabuh. Bisa kokoh disaat bahtera hampir roboh. Bisa tegar disaat harapan hampir pudar.

Teman, kondisi sakinah ini tidak akan terbentuk, kecuali karena adanya satu pondasi yang kuat. Dia dinamakan akhlak. Kita bisa nyaman bersama orang yang tuturnya lembut. Tegurnya menghibur. Marahnya cinta. Dan guraunya penghilang lara. Fazhfar bi dzatid diin.

Saat kondisi nyaman ini terlahir. Ketika itulah mawaddah muncul. Cinta tanpa kata. Bersih dan jernih. Tanpa bercak lumpur yang mengeruh. Ini dia cinta yang di tunggu dan diharapkan. Diidamkan. Saat lidah tak mampu berucap. Namun lewat mata dan hati ia terungkap. Saat tangan tak mampu medekap, namun ia terhubung dalam doa dikala senyap.

Ketika mawaddah ini tumbuh subur dan berkembang. Saat itulah rahmah mengambil peran. Duhai, apakah adalagi yang kita harapkan dari sebuah keluarga melainkan kasih sayang? Saat cinta mungkin hanya tinggal sebatas ucap? Saat tampan hanya berbekas di foto pajangan? Saat harta hanya bagian dari potong kehidupan? Saat itulah kita belajar memahami, yang mungkin selayaknya dikasihani. Mungkin saat itu kita seharusnya berkorban, disaat kita butuh belas kasihan. Mungkin disaat itulah kita belajar berbagi kebahagiaan, walau mungkin jiwa ini mulai diisi kehampaan akan harapan.

Namun bukan begitu halnya dengan mahabbah. Ia bisa saja menjadi tolok ukur terbentuknya rumah tangga. Namun terkadang ia ternoda. Ia muncul disaat setan menjadi matanya. Memperlihatkan eloknya saja. Kemudian menutupi tirai kekurangannya.

Siapa yang tahu dengan hati? Makhluk teraneh dan paling berbahaya. Saat ia rusak, rusak semuanya. Dan saat ia baik, baik pula semuanya.

Bukan berarti menyalahkan cinta. Juga banyak dari cinta yang menghasilkan sakinah, kemudian mawaddah, lantas menjadi rahmah.

Dan juga tak jarang mahabbah tadi berujung dengan kata-kata berpisah.

Terkadang sedih, ketika salah seorang al akh ditawarkan seorang akhwat oleh seorang ustad. Pertanyaan pertama yang muncul adalah “Ada fotonya ustad?”. Tidak, itu sama sekali tidak salah. Dan hal itu sangat manusiawi. Trus apa gunanya hadis yang sama-sama kita hafal “fazhfar bi dzatid diin”?

Kembali periksa hati kita. Apa tujuan kita menikah? Jangan-jangan, arah mobil mulai menyimpang dari tujuan.

Dengan SAKINAH insyaAllah akan menghasilkan MAWADDAH.
Tapi dengan MAHABBAH, terkadang bisa berujung dengan FITNAH.

Wallahu a’lam bis shawab.
 
 
Copyright: https://www.facebook.com/islah.saudi/posts/647674818606950?stream_ref=10

SAKINAH, MAWADDAH, WA ROHMAH

Bismillahirrohmanirrohim...


Semoga menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah, kata-kata itulah yang sering di ucapkan atau ucapan yang di berikan kepada calon suami-istri yang akan menikah.

Peranan agama dalam membentuk keluarga sakinah sangat penting, karena agama merupakan ketentuan-ketentuan Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia akhirat. Ia berperan ketika pemeluknya memahami dengan baik dan benar, menghayati dan mengamalkan ketentuan itu.

SAKINAH

Sakinah merupakan pondasi dari bangunan rumah tangga yang sangat penting. Tanpanya, tiada mawaddah dan warahmah. Kata sakinah berasal dari bahasa Arab, yang mengandung makna tenang, tentram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa di lindungi, penuh kasih sayang dan memperoleh pembelaan.

Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, kebahagiaan juga keberkahan.

MAWADDAH

Mawaddah itu berupa kasih sayang, dan juga berasal dari bahasa Arab. Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu pada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik, seperti kecantikan, ketampanan dan sebagainya. Dan setiap makhluk Allah kiranya di berikan sifat kasih sayang ini.

WA RAHMAH

Rahmah berasal dari bahasa Arab, yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih juga rezeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, melindungi yang di cintai tanpa pamrih.

Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima dan saling memahami.

Makna sakinah mawaddah dan warahmah adalah rasa ketentraman diri dalam bathin yang tak bisa di ukur dengan takaran-takaran duniawi. Ketentraman bathin bersifat abstrak, namun bisa menggerakan secara konkrit bagi setiap pasangan menuju tahta rumah tangga yang abadi dan di sirami rahmat Tuhan.

Keluarga sakinah memiliki suasana yang damai, tenang, tentram, nyaman, penuh cinta kasih dan sayang. Keluarga yang saling menerima, memahami serta di liputi oleh suasana jiwa penuh kesyukuran, terjauhkan dari penyelewengan dan kerusakan.

Semoga Allah Subhanahu Wata 'Alla menjadikan rumah tangga kita yang selalu di liputi sakinah, mawaddah dan wa rahmah, Aamiin Yaa Allah.

Copyright: http://wwwalmahabbah.blogspot.com/p/bismillah_22.html

Minggu, 23 Maret 2014

BIOGRAFI SULTAN MEHMED II (SULTAN MUHAMMAD AL-FATIH)

Sultan Mahmed II atau juga dikenal Sultan Muhammad Al- Fatih, beliau adalah Sultan yang memerintah di Dinasty Turky Utsmani. di juluki Al-Fatih (sang penakluk) karena telah menaklukkan Konstantinopel beliau berkuasa sampai pada tahun 1481 M sebelum akhirnya mangkat. Kejayaan baginda Sultan Muhammad dalam kepemimpinannya membuat decak kagum  para musuhnya. Sebelum-sebelumnya Nabi Muhammad SAW sudah meramalkan akan ada seorang Raja Islam yang akan menaklukkan konstantinopel seperti yang disabdakan oleh Nabi SAW:
"Konstantinopel akan ditaklukan oleh tentara Islam. Rajanya (yang menaklukan) adalah sebaik-baik raja dan tentaranya (yang menaklukan) adalah sebaik-baik tentara."

Sultan Muhammad II dilahirkan di Edirin pada 30 Maret 1423 M yang mana pada waktu itu Edirin adalah pusat kota pemerintahan Dinasty Turki Utsmani. beliau adalah putra dari Sultan Murad II beliau hidup di masa setelahnya Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan perang Salib) 1137 -1193 M

Semenjak kecil, beliau telah mencermati usaha ayahnya untuk menaklukkan Konstantinopel. Bahkan beliau telah mengkaji usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam untuk menaklukkan Konstantinopel, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta pada tahun 1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar (kota/kota pelabuhan) tersebut. Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia di didik secara intensif oleh para ulama' terkemuka di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama' untuk mengajar anaknya (Sultan Muhammad Al-Fatih), tetapi oleh Sultan Muhammad Al-Fatih menolaknya. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Sultan Muhammad Al-Fatih jika beliau membantah perintah gurunya.
 
Waktu bertemu Sultan Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan Murad II (ayahnya) kepada Syeikh Muhammad bin Isma'il Al-Kurani, Sultan Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri beliau lantas setelah itu dia terus menghafal Al-Qur'an dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Murabbi Syeikh Ak Syamsuddin yang juga merupakan Murabbi dari Sultan Muhammad Al-Fatih. Dia mengajar Sultan Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur'an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Ak Syamsuddin lantas meyakinkan Sultan Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam di dalam hadits penaklukan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Ak Syamsuddin untuk menyiapkan bala tentaranya untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun kira kira sebanyak 250,000 tentara. Para tentara lantas diberikan latihan dengan cara sungguh-sungguh dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar" terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada akhir-akhir perang 27 Mei 1453 dua hari sebelum kemenangannya 29 Mei, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah Subhana Wa Ta'ala. Mereka memperbanyak salat, doa, dan dzikir. Hingga tepat jam 1 pagi siang hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.

Kehilangan Konstantinopel memberi tamparan hebat kepada kerajaan Kristian barat. Seruan Paus untuk melancarkan perang balas sebagai Perang Salib tidak hiraukan oleh raja-raja Eropa. Ini menyebabkan paus sendiri pergi untuk berperang tetapi kematian awal paus melenyapkan harapan serangan balas.

Muhammad al-Fatih mendapat sebuah kota yang agung walaupun dalam keadaan perselisihan kerana perang yang berlanjutan. Konstantinopel membolehkan bangsa Turki mengukuhkan kedudukan mereka di Eropa serta meluaskan wilayah mereka ke Balkan dan Mediterranean.
 
Pada waktu itu beliau (Sultan Muhammad Al- Fatih) menukar nama Konstantinopel menjadi Islambol (Islam keseluruhan). Kini nama tersebut telah ditukar oleh Mustafa Kamal Ataturk (Pemimpin Revolusi Turky) menjadi Istanbul, karena jasanya masjid Al-Fatih didirikan di dekat makamnya. Kepribadian beliau sangat mencerminkan seorang pemimpin yang luar biasa dari segi salehnya dan keilmuannya yang tinggi.

Di ceritakan pada suatu hari timbul persoalan, ketika pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di kota itu.“Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Tak ada yang berani yang menawarkan diri, kemudian Muhammad Al Fatih tegak berdiri. 

Beliau meminta kepada seluruh rakyatnya untuk bangun berdiri. Kemudian beliau bertanya. “ Siapakah diantara kalian yang sejak remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk” tak seorangpun pasukan islam yang duduk. Semua tegak berdiri. Lalu Sultan Muhammad Al Fatih kembali bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak baligh dahulu hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunah sekali saja silakan duduk”. Sebagian lainya segera duduk. Dengan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh rakyat dan pasukanya, Muhammad Al Fatih kembali berseru lalu bertanya: “ Siapa diantara kalian yang sejak masa akhil baligh sampai hari ini pernah meninggalkan shalat tahajjud di kesunyian malam? Yang pernah meninggalkan atau kosong satu malam saja, silakan duduk” Semua yang hadir dengan cepat duduk” Hanya ada seorang saja yang tetap tegak berdiri. dialah, Sultan Muhammad Al Fatih.

Referensi:
-http://ms.wikipedia.org/wiki/Muhammad_al-Fatih
-http://id.wikipedia.org/wiki/Mehmed_II
-Muhammad Al-Fatih 1453, Felix Y. Siauw : jakarta; Al Fatih Press, 2013.

Copyright: http://sejarahilmu.blogspot.com/2013/05/biografi-sultan-muhammad-al-fatih-sang.html

MEMAHAMI MAKNA PEMBUKAAN UUD 1945

Bung Karno
Bung Karno : Declaration of Independence kita, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, memberikan pedoman-pedoman tertentu untuk mengisi kemerdekaan nasional kita, untuk melaksanakan ke Negaraan kita, untuk mengetahui tujuan dalam memperkembangkan kebangsaan kita, untuk setia kepada suara-batin yang hidup dalam kalbu rakyat kita. “Proklamasi” tanpa “Declaration” berarti bahwa kemerdekaan kita tidak mempunyai falsafah. Tanpa mempunyai Dasar Penghidupan Nasional, tidak mempunyai pedoman, tidak mempunyai arah, tidak mempunyai “raison d’etre”, tidak mempunyai tujuan selain daripada mengusir kekuasaan asing dari bumi “Ibu Pertiwi”. (DBR II – 442)  

Pendahuluan
 

Kemerdekaan adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan, karena di dalam alam kemerdekaan itulah kita akan dapat berjuang mencapai tujuan hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang telah kita letakkan. Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan bukan sekedar untuk merdeka, akan tetapi kemerdekaan Indonesia diproklamasikan untuk menciptakan keadaan yang memberi kemungkinan bagi bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita hidupnya berdasarkan prinsip-prinsip yang hidup di dalam kalbu. Oleh karena itu, Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita nasional Indonesia.

Dari kutipan di atas jelas dapat kita ketahui bahwa di dalam Deklarasi Kemerdekaan yang tertuang sebagai Pembukaan UUD 1945 kita akan dapat menemukan falsafah, pedoman, dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan, serta kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Deklarasi Kemerdekaan itulah kita akan dapat menemukan “raison d’etre” (alasan keberadaan/ eksistensi) bangsa Indonesia. Dengan demikian seluruh arah dan tujuan, serta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan turunan (derivasi) serta penjabaran dari Pembukaan UUD 1945.

 

Setiap perjuangan untuk mencapai cita-cita luhur selalu akan dihadapkan kepada berbagai tantangan. Demikian pula perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaannya. Berbagai tantangan telah datang menghantam, baik dari luar maupun dari dalam. Ketika hantaman secara fisik tidak mampu merontokkan perjuangan bangsa Indonesia, mereka berusaha membunuh pemahaman, kesadaran serta penghayatan bangsa Indonesia atas cita-cita Proklamasi Kemerdekaannya dengan cara mengaburkan, membelokkan serta merusak makna Deklarasi Kemerdekaan. Guna menghadapi berbagai tantangan tersebut diperlukan usaha kita dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami makna Deklarasi Kemerdekaan.
 

Dengan memahami makna yang terkandung dalam Deklarasi Kemerdekaan, meskipun dalam tulisan ini hanya akan membahas pokok-pokoknya, kita akan dapat menentukan arah yang benar serta mencegah, setidak-tidaknya mengerti atas terjadinya penyimpangan-penyimpangan, baik yang bersifat fundamental, konseptual maupun operasional, baik terbuka maupun terselubung.
 

Memahami makna Pembukaan UUD 1945
 
Kalau musuh-musuh Proklamasi Kemerdekaan mampu melaksanakan penjungkir-balikan makna Pembukaan UUD 1945 dengan cara licik dan penuh dengan tipu muslihat, ironisnya, banyak pendukung Proklamasi yang tidak menyadari, tidak memahami, atau tidak peduli bahwa telah terjadi pengkhianatan yang akan menghancur-leburkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan.

 

Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai sebab, antara lain : menonjolnya kepentingan subyektif (baik pribadi, kelompok maupun golongan), tidak memahami bahwa perombakan Pancasila maupun UUD 1945 akan merombak seluruh tata kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak mengetahui atau tidak memahami makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 maupun Pancasila (meskipun mungkin hafal tiap kata), serta sebab yang lain lagi. Atau memang tidak mau tahu sama sekali tentang itu semua!
 

Oleh karena itu, untuk menegakkan kembali jiwa, semangat dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, merupakan kewajiban kita untuk mencermati, memahami dan menghayati makna yang terkandung dalam Deklarasi Kemerdekaan.
Untuk dapat mencermati, memahami serta menghayati substansi serta makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, akan kita kutip teks Pembukaan tersebut secara lengkap :

 

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
 

Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

 

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar negara Indonesia , yang terbentuk dalam satu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 

Dari kutipan tersebut dapat kita cermati bahwa dalam Deklarasi Kemerdekaan terkandung asas, visi, misi dalam mendirikan negara yang merdeka, serta bentuk, sifat dan dasar negara yang kita dirikan.
 

Selanjutnya akan kita telusuri alinea per alinea, untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya, meskipun kita juga memahami, bahwa keterbatasan kata yang kita miliki tidak akan mampu mengurai secara rinci seluruh kandungan yang ada dalam cita-cita luhur tersebut. Namun diharapkan setidak-tidaknya kita akan dapat melakukan pemahaman atas pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya.
 

Alinea pertama merupakan asas dalam mendirikan negara, yang terdiri dari dua hal :
 

pertama : kemerdekaan adalah hak segala bangsa;
kedua : penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

 

Dengan demikian jelas bahwa negara yang didirikan oleh bangsa Indonesia adalah sebuah negara bangsa (nation state) yang berdiri di atas hak yang dimilikinya, yaitu hak untuk merdeka. Hal ini dipertegas dalam alinea ke empat yang menyebutkan “Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia”. Atas dasar asas tersebut, nasionalisme yang dibangun Indonesia pasti bukan nasionalisme yang chauvinistik, bukan pula jingo nasionalism, melainkan nasionalisme yang berperikemusiaan dan berperikeadilan. Nasionalisme yang akan dibangun adalah nasionalisme yang menjunjung tinggi hak kemerdekaan semua bangsa, untuk menjalin hubungan saling hormat menghormati dengan kewajiban untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Atas dasar kesadaran itu, maka penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan..
 

Berdasarkan prinsip tersebut, maka dapat diketahui bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang dijiwai perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karena itu nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti penindasan, baik penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation) maupun penindasan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme).
 

Memahami bahwa kapitalisme merupakan induk dari kolonialisme/ imperialisme, maka nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang juga anti kapitalisme seperti halnya anti kolonialisme/imperialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
 

Visi bangsa Indonesia dalam mendirikan negara bangsa yang merdeka dengan jelas diungkapkan dalam alinea ke dua, yaitu : negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
 

Negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat bermakna sebagai negara bangsa (nation state) yang bebas dari penjajahan maupun penindasan negara lain, serta berhak menentukan segala kebijakannya berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya.
 

Disadari sepenuhnya bahwa kekuatan Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaaanya adalah tumbuh dan berkembangnya kesadaran dan semangat persatuan bangsa dan kesatuan wilayah. Pluralisme yang ada bukanlah untuk mengedepankan kepentingannya sendiri, melainkan untuk saling mendukung guna membangun kekuatan bersama.
 

Kesadaran akan adanya saling ketergantungan antar wilayah yang beragam itulah yang merupakan sumber kekuatan Indonesia, sehingga Indonesia akan menjadi negara yang tidak akan tergantung pada dan didikte oleh negara atau kekuatan lain.
 

Seperti halnya dengan bangsa-bangsa lain, untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatannya bangsa Indonesia berpegang pada tiga prinsip kemerdekaan yang oleh Bung Karno disebut “Trisakti”, yaitu :
• berdaulat di bidang politik;
• berdikari di bidang ekonomi; dan
• berkepribadian di bidang kebudayaan.

 

Sedangkan adil dan makmur adalah kondisi kehidupan yang menjadi tujuan dalam mendirikan negara. Kemakmuran yang akan dibangun adalah kemakmuran untuk semua, kemakmuran untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan yang terdistribusi secara adil. Oleh karena itu dasar pengelolaan kesejahteraan tersebut harus berasaskan kekeluargaan yang bersumber pada prinsip kesederajadan dan kebersamaan. Tidak bisa tidak, demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus ditegakkan. Kondisi masyarakat yang sejahtera lahir dan batin itulah yang disebut sebagai Sosialisme Indonesia, yang tak lain adalah masyarakat Gotong Royong.
 

Berdasarkan asas kemerdekaan dan visi yang ingin diwujudkan, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius, menyadari sepenuhnya bahwa kemerdekaan yang telah dicanangkan, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan berbagai pengorbanan, hanya dapat terlaksana, sepenuhnya berkat rahmat Tuhan Y.M.E. Hal ini terungkap dalam alinea ke tiga.
 

Selanjutnya dalam alinea ke empat diungkapkan tentang prinsip-prinsip dibentuknya Pemerintah sebagai instrumen politik dan tugasnya. Untuk memberikan landasan dan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara, disusunlah Undang-Undang Dasar. Sedangkan bentuk negara ditetapkan sebagai Republik yang berkedaulatan rakyat, artinya Indonesia adalah sebuah republik yang bersifat demokratis. Sedangkan sebagai dasar negara adalah Pancasila.
 

Untuk menjamin terwujudnya visi yang telah ditetapkan, Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melaksanakan dua tugas pokok :
ke dalam :
pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ;
kedua, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
ke luar : ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Dari tugas yang diamanatkan kepada Pemerintah tersebut dengan jelas termaktub bahwa Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai wilayah adalah satu kesatuan yang utuh, sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Sumpah Pemuda. Kesadaran atas kesatuan yang utuh itulah yang merupakan sumber bagi dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 

Amanat untuk memajukan kesejahteraan umum mempunyai makna untuk memajukan kesejahteraan bagi rakyat secara keseluruhan, bukan hanya kesejahteraan orang per orang. Oleh karena itu perlu disusun suatu sistem yang dapat menjamin terselenggaranya keadilan sosial. Dan kesejahteraan yang harus diciptakan bukan hanya sekedar kesejahteraan ekonomis, bukan sekedar kesejahteraan material, melainkan kesejahteraan lahir dan batin, kesejahteraan material dan spiritual. Artinya kesejahteraan material itu harus terselenggara dalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing, masyarakat yang bebas dari rasa takut, masyarakat yang hidup dalam kesederajadan dan kebersamaan, masyarakat yang bergotong-royong. Masyarakat adil, makmur dan beradab itulah warna dari Sosialisme Indonesia.
 

Amanat tersebut terkait dengan amanat berikutnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermakna membangun peradaban bangsa, sehingga bangsa Indonesia akan mampu hadir sebagai bangsa yang memiliki kepribadian nasional yang bersumber kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi nasional Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan kepribadian nasional yang dimilikinya itu bangsa Indonesia akan memiliki kepercayaan diri, akan memiliki national dignity. Untuk membangun peradaban bangsa inilah diperlukan kecerdasan intelektual, emosional, afirmatif (dari affirmative intelegents – kecerdasan untuk mengambil keputusan) dan spiritual, untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan bangsa dan negara, sehingga mutlak perlu dilaksanakan nation and character building.
Namun dengan kepercayaan diri dan national dignity tersebut tidak berarti kita akan tampil sebagai bangsa yang chauvinistis, melainkan semata-mata ingin hidup dalam tata pergaulan dunia yang saling hormat menghormati. Hal tersebut jelas terungkapkan dalam tugas ke luar, yaitu : ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Dari sini terlihat dengan jelas bahwa cita-cita bangsa Indonesia dalam membangun peradaban itu tidak hanya terbatas pada membangun peradaban bangsa, melainkan juga peradaban manusia.
 

Dari peradaban bangsa dan umat manusia yang berangkat dari kesederajadan dan kebersamaan, dan terimplementasikan dalam kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, akan lahir suatu kehidupan yang sejahtera, kehidupan tanpa ada penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation), maupun penindasan manusia atas manusia (exploitation de l’homme par l’homme). Inilah Dunia Baru yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, Dunia Baru yang adil dan beradab.
 

Dengan merunut tiap kata dari Pembukaan UUD 1945, terlihat dengan nyata bahwa Pembukaan UUD 1945 sangat sarat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun di sini HAM tidak diangkat secara sempit hanya terbatas pada pandangan manusia sebagai mahluk individu, melainkan juga sebagai mahluk sosial. Sehingga terbentanglah harmoni yang menggelar kesejahteraan hidup bersama.
 

Keseluruhan tata kehidupan berbangsa dan bernegara serta tujuan perjuangan bangsa Indonesia tersebut dilaksanakan berdasarkan Pancasila, suatu filosofische grondslag (landasan filosofis) yang berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man). Oleh karena itulah Bung Karno menyebut perjuangan revolusioner bangsa Indonesia sebagai revolusi besar kemanusiaan.
 

Demokrasi Indonesia
 
Disamping hal-hal yang berkenaan dengan asas, visi, misi, serta dasar negara, dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat, yang berarti bahwa dalam keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.

 

Penggunaan istilah kedaulatan rakyat di sini merupakan penegasan tentang pengertian demokrasi yang sering dimaknakan sekedar sebagai kebebasan individu. Penegasan tersebut memberikan arah bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara harus selalu bertumpu pada kedaulatan rakyat. Rakyat harus menjadi subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya rakyat harus memiliki keberdayaan yang penuh, sehingga dapat menegakkan kedaulatannya. Dan dalam hubungan ini pulalah pemerintah diwajibkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, Pancasila telah memberikan rumusan yang jelas, yaitu : “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya- waratan/perwakilan”.

 

Dalam sistem ini, demokrasi tidak hanya diartikan sebagai sebuah prosedur dan juga bukan tujuan. Demokrasi adalah sebuah substansi, yaitu tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Substansi tersebut diwujudkan ke dalam sebuah sistem yang merupakan alat bagi rakyat dalam menciptakan kesejahteraannya. Rakyat benar-benar ditempatkan sebagai subyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam fungsi tersebut rakyat mempunyai dua peran aktif, yaitu:
· melakukan interaksi untuk melahirkan pimpinan yang berfungsi mewakili komunitasnya;
· menyalurkan aspirasi melalui wakil(2) yang telah dilahirkannya; dengan demikian setiap pimpinan mempunyai kewajiban untuk mengemban aspirasi rakyat yang diwakilinya.

 

Dalam struktur kenegaraan, kedaulatan rakyat itu dijelmakan menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dengan adanya Lembaga Tertinggi Negara yang terdiri dari sejumlah orang yang kewenangannya dibatasi oleh UUD tersebut, apabila dilaksanakan dengan benar, dijamin tidak akan lahir kekuasaan otoriter.
 

Untuk membentuk MPR, disusunlah infrastruktur yang terdiri dari partai-partai politik. Wakil-wakil partai politik ini akan terhimpun dalam Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya juga akan menjadi anggota MPR.
 

Namun disadari bahwa partai-partai politik tidak akan mampu menyerap seluruh aspirasi rakyat. Oleh karena itu agar aspirasi politik yang bersifat umum itu dapat diimplementasikan dengan baik, harus ada orientasi kewilayahan dan juga terhadap fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial. Maka diperlukan wakil-wakil yang akan membawakan aspirasi kewilayahan yang meliputi aspek sosial dan budaya, serta fungsi-fungsi dalam kehidupan sosial.
 

Yang dimaksud dengan fungsi-fungsi kehidupan sosial adalah kebutuhan/ kepentingan permanen masyarakat, misalnya yang menyangkut produksi, distribusi, pendidikan, kerohanian, kepemudaan, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya.
 

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka disamping ada wakil-wakil yang berasal dari partai politik, untuk membentuk MPR yang dapat menyerap aspirasi rakyat secara keseluruhan perlu dilengkapi dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan (fungsional). Unsur-unsur yang termasuk Golongan Fungsional (bukan profesional, juga bukan minoritas) antara lain buruh, tani, nelayan, cendekiawan, rohaniwan, TNI/Polri, pemuda, budayawan dan sebagainya.
 

Melalui permusyawaratan rakyat itulah demokrasi Indonesia diselenggarakan.
 

Pengingkaran
 

Setelah kita telusuri isi dan jiwa Pembukaan UUD 1945, akan dapat dengan jelas kita lihat terjadinya penyimpangan-penyimpangan sejak awal Proklamasi Kemerdekaan hingga dewasa ini. Benih pengingkaran yang tertebar dalam berbagai penyimpangan tersebut mendapat lahan subur pada dataran yang dibangun Orde Baru.
 

Apa yang dilakukan oleh Orde Baru adalah salah satu bentuk pengingkaran yang masih segar hidup dalam ingatan kita. Dengan semboyan “melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen” Orde Baru telah melakukan penyimpangan yang menyesatkan. Penyimpangan itu bersifat menyeluruh, mulai dari cara berpikir, moralitas sampai pola berkonsumsi, yang dilaksanakan melalui penipuan sejarah, pendistorsian Pancasila, pengembangan pola berpikir pragmatisme dan pola hidup hedonistik, pembangunan kekuasaan otoriter dan represif, pembangunan konglomerasi, sampai dengan penyerahan kedaulatan nasional kepada kapitalisme internasional. Kesadaran politik rakyat dihancurkan melalui floating mass, sedangkan terhadap mahasiswa dilaksanakan melalui NKK/BKK. Selama lebih dari tiga puluh tahun bangsa Indonesia telah mengalami character assassination (pembunuhan watak – penghancuran karakter).
 

Dewasa ini, di tengah keadaan bangsa Indonesia masih terbenam dalam keterpurukan sebagai akibat dari kebijakan Orba dan penerusnya, para floating elite yang lahir sebagai kelanjutan dari dilaksanakannya floating mass, telah mengobok-obok UUD 1945, yang ujungnya adalah de-ideologisasi.
 

Kalau Orde Baru telah mendistorsi Pancasila melalui P4, dewasa ini sisa-sisa Orba bersama para petualang (oportunis) dan profiteur (orang yang hanya mencari keuntungan) telah merombak pasal-pasal UUD 1945 dan menghapus penjelasannya dengan dalih melakukan pemurnian demokrasi melalui amandemen.
 

Di samping banyaknya pasal rancu (saling bertentangan, tidak konsisten maupun tidak berkualifikasi UUD), perombakan yang mereka lakukan telah melahirkan pembusukan kelembagaan, pengembangan semangat federalisme/liberalisme/ individualisme, dan pendistorsian terhadap demokrasi. Singkatnya mereka telah melahirkan UUD baru yang mengingkari jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945, dan dengan demikian mereka telah menghianati cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
 

Berbeda dengan Amerika Serikat yang melakukan amandemen melalui addendum dengan tetap mempertahan-kan UUDnya yang asli, sisa-sisa Orba bersama petualang dan profiteur itu telah merombak pasal-pasal UUD 1945 secara substantif dan menghapus penjelasannya, tetapi secara licik tetap mempertahankan nama UUD 1945 dan Pembukaannya, sebagai upaya untuk menyelimuti pengingkarannya. Langkah tersebut merupakan tahap awal untuk menggantinya dengan UUD baru! Sebagai akibatnya, ada dua UUD yang memiliki nama dan Pembukaan yang sama, tetapi berbeda dalam substansinya. Pada saatnya kelak rakyat dan generasi yang akan datang akan bertanya, yang manakah UUD 1945 yang sesungguhnya?
 

Apabila jawabnya adalah hasil perombakan yang dilakukan oleh para elite politik yang berkonspirasi di MPR, maka bangsa Indonesia akan kehilangan dokumen historis karya besar founding fathers. Namun kalau keduanya diakui sebagai realitas yang ada, maka akan ada dua UUD 1945, yang satu adalah UUD 1945 yang asli, sedang yang lainnya adalah UUD 1945 hasil rekayasa para petualang politik di MPR, yang isi dan jiwanya mengingkari UUD 1945 yang asli beserta Pembukaannya. Oleh karenanya sudah sepantasnya kalau UUD baru tersebut disebut sebagai UUD 1945 palsu.
 

Dengan telah hadirnya UUD baru sebagai akibat dari dirombaknya batang tubuh dan dihilangkannya Penjelasan UUD 1945, maka Pembukaan UUD 1945 tinggal menjadi simbol, sama halnya Pancasila tinggal sebagai sebuah nama ketika didistorsi melalui P4. Namun diyakini bahwa Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila akan tetap hidup dalam kalbu rakyat serta semua yang tetap setia kepada cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia akan bergelora kembali, dan setiap bentuk pengingkaran akan sirna diterjang perjuangan luhur.
 

PENUTUP
 

Pembukaan UUD 1945 memberikan acuan yang jelas mulai dari asas pendirian negara sampai ke dasar dan tatanan penyelenggaraannya. Dalam pelaksanaannya memang akan sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat penyelenggaranya. Untuk menghindari bias-bias yang dapat menimbulkan ketersesatan dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang mendalam, jujur dan sungguh-sungguh. Disamping itu, agar pemahaman kita benar-benar utuh, maka harus difahami pula makna Pancasila sebagaimana diuraikan oleh Penggalinya, Bung Karno.
 

Dari alur pikiran yang kita runut dalam Pembukaan UUD 1945, dapat kita tangkap bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man), dan akan dilaksanakan melalui tiga tahapan revolusi, yaitu:
 

  • mencapai Kemerdekaan Penuh, artinya bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, akan berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, berdasarkan tiga prinsip kemerdekaan :
         · berdaulat di bidang politik;
         · berdikari di bidang ekonomi;
         · berkepribadian di bidang kebudayaan.
  • melalui gerbang kemerdekaan itu akan dibangun Sosialisme Indonesia di dalam negara kesatuan yang demokratis, yaitu masyarakat gotong royong yang adil-makmur material dan spiritual dalam suatu kehidupan bangsa yang beradab;
  • untuk menjaga tegaknya Kemerdekaan Penuh dan tetap terselenggaranya Sosialisme Indonesia, harus dibangun tata kehidupan Dunia Baru yang adil dan beradab berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masyarakat dunia yang saling hormat menghormati, dunia baru tanpa ada penindasan bangsa atas bangsa maupun manusia atas manusia.
Untuk membangun moral serta elan vital revolusioner guna mendukung tercapainya cita-cita luhur tersebut, harus dilaksanakan pembangunan bangsa dan kepribadiannya (nation and character building) melalui aksi multi-dimensi oleh seluruh eksponen bangsa. Pancasila adalah landasan filosofis yang merupakan dasar dan acuan perjuangan.
 

Dengan mencermati semakin dalam makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, semakin terasa betapa luhurnya cita-cita bangsa Indonesia, cita-cita untuk membangun peradaban bangsa dan umat manusia.
 

Itulah tujuan dari Revolusi Indonesia.
 

Lembaga Koordinasi Strategik Marhaenis (LKSM)
Jakarta, 17 Agustus 2002

Copyright: http://dirmania-centre.blogspot.com/2010/03/memahami-makna-pembukaan-uud-1945.html 

Kamis, 20 Maret 2014

ILMU SANGKAN PARANING DUMADI

Berikut adalah percakapan antara Si Murid dengan Si Guru.

Murid : Guru, tolong jelaskan kepadaku apakah ilmu sangkan paraning dumadi itu ?

Guru : Sangkan paran adalah pengetahuan tentang dari mana kamu berasal dan kemana tujuan kamu. Atau lebih mudahnya adalah ilmu tentang jalan pulang. Sebenarnya dimana rumah asalmu maka kesanalah kamu akan pulang.

Ketahuilah Muridku, bahwa sesungguhnya tiap-tiap apa yang berasal akan kembali ke asal itu. Dirimu terdiri dari dua unsur, jasmani sebagai badan wadagmu dan rohaniahmu sebagai isi. Ibarat sangkar dengan burungnya. Jika sangkar sudah rusak maka burung akan terlepas.

Jasmanimu dan ruhanimu mempunyai asal masing-masing dan juga mempunyai jalan pulang sendiri-sendiri. Jasmanimu dicipta dari unsur alam ini. Tanah (bumi), udara (angin), api (panas) dan air. Karena asalnya dari bahan saripati alam maka kelak akan kembali ke alam lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang angin kembali kepada angin, yang api kembali kepada api dan yang air akan menyatu kembali kepada air.

Urut-urutannya adalah demikian. Saripati tanah, udara, panas dan air dihisap oleh tumbuhan kemudian diproses menjadi sari makanan. Tumbuhan tersebut ada yang dimakan hewan dan ada yang dimakan langsung oleh manusia. Hewan yang memakan tumbuhan itupun akhirnya juga dimakan manusia. Ahirnya saripati makanan yang berasal dari unsur alam tersebut diproses dalam diri manusia laki-laki menjadi air mani. Sedangkan pada manusia perempuan diproses menjadi sel telur.

Dari pertemuan antara air mani lelaki dan sel telur wanita itulah kemudian berubah menjadi tubuh jabang bayi. Semua proses itu adalah terjadi karena kekuasaan dan kehendak Tuhan.

Bayi tumbuh menjadi dewasa dan tua kemudian mati. Bahkan perkara mati ini ada yang mati waktu bayi, waktu remaja maupun sudah tua. Itu terserah pada ‘jangka-Nya’ terhadap masing-masing individu. Ketika mausia mati maka tubuhnya ditinggalkan di alam dunia ini lagi. Bagi yang beragama Islam maka jasadnya dikubur dalam tanah.

Dengan berlalunya waktu maka jasad dalam tanah akan hancur, kecuali orang-orang khusus yang ditakdirkan Allah untuk jasadnya tetap utuh. Bagi yang jasadnya hancur akhirnya akan menjadi sari pati tanah lagi. Saripati tanah dihisap lagi oleh tetumbuhan menjadi saripati makanan. Saripati makanan dimakan manusia lagi yang kemudian berproses menjadi air mani lagi bagi pria dan sel bagi wanita. Ketika terjadi pertemuan air mani dan sel telor, dengan kuasa-Nya terciptalah jabang bayi lagi.

Hal tersebut akan terjadi terus dalam alam semesta sampai pada batas waktu yang ditetapkan-Nya. Itu akan menjadi ‘cokromanggilingan‘, berputar terus sesuai dengan hukum alam. Itu jasmanimu.

Murid : “Bagaimana dengan unsur rohaniku wahai Guru ?”

Guru : “Unsur rohanimu adalah Dirimu yang sejati dengan beberapa pelengkap. Karena secara ruhani, disana ada Dirimu yang sejati yang juga dilengkapi akal dan nafsu. Hal yang terpenting adalah ‘Si Manusia-nya itu. Yaitu dirimu yang sejati itu”.

Murid : “Yang manakah yang ‘Diri Saya’ itu guru ?”

Guru : “Jangan bodoh dan samar. Kamu yang sebenarnya adalah kamu yang ‘merasa’ bisa melihat, mendengar dan merasa - merasa yang lainnya. Kamu adalah kamu yang bisa bermimpi kala tidurmu. Kamu adalah yang ‘merasa’ dan yang bisa ‘menyadari’ akan kesadaranmu sendiri. Jadi kamu yang sejati adalah yang mempunyai kesadaran itu. Kamu adalah kamu yang sadar atas dirimu.

Ingat ketika kamu tidur satu ‘turon’ (tempat tidur) dengan istrimu. Kemudian kamu bermimpi dikejar anjing. Kamu lari kecapekan. Kamu digigit anjing dan kamu menjerit. Tiba-tiba kamu bangun. Kamu marah-marah sama istrimu, kenapa dia tidak menolong kamu. Ya jelas kamu ditertawai sama istrimu. Lha wong istrimu tidak tahu kalau kamu digigit anjing kok, bagaimana cara dia menolongmu. 

Menurut istrimu, setahunya kamu malah tidur lelap.

Nah yang tidur lelap adalah ragamu. Sedang yang merasakan sakit digigit anjing waktu kamu mimpi itulah dirimu yang sebenarnya. Karena itulah kesadaranmu.

Sekali lagi, kesadaranmu itulah hakekat dirimu. Nah, kesadaranmu sehari-hari itu lebih banyak dimana. Apakah pada keinginan-keinginan atau nafsumu. Atau pada akalmu semata yang kadang justru bisa akal-akalan,mengakali, mencari pembenar sendiri. Atau justru bisa bertempat pada sang Ruh. Sedangkan Ruh itu adalah wilayah al ‘amr Tuhan. Asal dari alam ‘perintah’-Nya.”

Murid : “Bukankah memang Ruh itu milik-Nya dan selalu dalam genggaman-Nya. Ketika orang tidur Ruh ditahan-Nya kemudian ‘dilepas’ lagi ketika si manusia bangun. Dan bagi si mati Ruh itu tetap dalam genggaman-Nya. Berarti kan secara otomatis manusia pasti bisa kembali pulang, Guru ?”

Guru : “Nah ini dia ketemunya. Memang Ruh itu dalam kekuasan-Nya. Bahkan bukan Ruh saja, tetapi apapun juga dalam ‘genggaman’-Nya. Tetapi kesadaranmulah yang menentukan. Jika kesadaranmu dibelenggu nafsu maka kesadaranmu juga gak bisa ikut ‘pulang’. Karena ‘pulang’ itu tidak usah menunggu ketika kamu mati. Kamu bisa mati sakjeroning urip, mati di dalam hidup. Jadi jalan pulang itu adalah jalan yang mulai ditapaki sejak sekarang. Sejak kamu ada di dunia gumebyar ini.

Sejak sekarang kamu sudah diseru untuk pulang. Untuk senantiasa kembali kepada-Nya. “….Irji’i ila Robiki….” kembalilah kepada Robb-mu, kepada ilah-mu, kepada Yang Maha ADA yang Mengadakan-mu.”

Murid : “Lalu sangunya (modalnya) apa dan apa yang dijadikan gandolan (pegangan) ?”

Guru : “Sangunya rasa rela atau senang. Rela kepada siapa ? Ya rela atau senang kepada-Nya. Rindu dan cinta akan Dia. Rela dan senang untuk kembali kepada-Nya. Dan pegangannya adalah kita bersandar welas asih-Nya (bersandar pada sifat Rohman dan Rohiim -Nya). Karena memang itu adalah sifat dari pakerti-Nya (af’al-Nya).

Kalau sudah begitu, tinggal kamu ‘bersedia dipakai oleh-Nya‘ untuk menebarkan kasih sayang kepada alam. Meneruskan misi Sang Nabi Panutan, rahmatan lil ‘alamin. Memayu hayuning buwono. Menebarkan kesejahteraan dan kedamaian di alam ini.

Karena itu ada sebagian orang yang menyebut pengetahuan tentang hal ini dengan penyebutan ilmu sangkan paran. Ada lagi yang mengidentikkan dengan ilmu ‘inna lillahi wa inna ilaihi rojii’un. Ada lagi yang menamakan dengan ilmu sastro jendro hayuningrat pangruwating diyu.

Sastro adalah ilmu, jendro adalah adiluhung, hayuning adalah membangun dan rat adalah jagad. Jadi maknanya ilmu untuk membangun jagad. Jagad siapa, ya jagadnya si manusianya itu sendiri. Pangruwat artinya perbaikan atau pemulihan. Diyu bermaksud raksasa. Ngruwat atau memperbaiki raksasanya siapa ? Ya raksasanya si manusia itu sendiri.

Ingat, dalam hatimu itulah semuanya berada. Ada malaikat. Ada widodari. Ada widodoro. Ada jin setan priprayangan gendruwo ilu-ilu banaspati engklek-engklek waru doyong. Hatimu adalah jagadmu. Harus dibangun. Dibersihkan. Diruwat. Kalau sudah diruwat dan sudah bisa ‘jalan pulang’ maka biarkan DIA yang Maha Welas Asih yang bertahta di hatimu. Ingat ini : langit tidak akan cukup luas untuk Dia, bumi juga terlalu sempit untuk-Nya. Namun hati manusia ‘Insan al-kamil’ bisa menjadi ‘tahta’-Nya.

Sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2013/01/23/ilmu-sangkan-paraning-dumadi-527025.html

Rabu, 19 Maret 2014

BIOGRAFI ABU NASHIR MUHAMMAD AL FARABI

Al Farabi adalah seorang Filsuf Islam.

Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. [1]

Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. [1]

Kemungkinan lain adalah Farabi adalah seorang Syi’ah Imamiyah[2] (Syiah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki.[3]

KEHIDUPAN DAN PEMBELAJARAN

Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. [4] Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. [4]

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. [4]

Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil.[4] Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad. [4].

Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. [5] Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah). [5]

Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. [1] Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. [5] Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. [5] Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa.[5] Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.[5]

Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat. [5]

Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.[5]

Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla [5] dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah.[5] Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik. [1]

Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama). [4]

BUAH PEMIKIRAN KARYA

KARYA

Selama hidupnya al Farabi banyak berkarya. Jika ditinjau dari Ilmu Pengetahuan, karya-karya al- Farabi dapat ditinjau menjadi 6 bagian :[1]

1. Logika
2. Ilmu-ilmu Matematika
3. Ilmu Alam
4. Teologi
5. Ilmu Politik dan kenegaraan
6. Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).

Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rejim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam.[1] Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah. [1]

PEMIKIRAN TENTANG ASAL-USUL NEGARA DAN WARGA NEGARA

Menurut Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara.[6] Oleh karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. [6] Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah.[4] Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.[4]

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. [4] yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. [7]

Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara.[4] Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. [4] Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka.[4]

Negara Utama dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami, pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna.[4]. Ada tiga klasifikasi utama:

• Pertama, jantung. Jantung merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur oleh organ lainnya.[4]

• Kedua, otak. Bagian peringkat kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti : hati, limpa, dan organ-organ reproduksi. [4]

• Organ bagian ketiga. Organ terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.[4]

PEMIKIRANNYA TENTANG PEMIMPIN

Dengan prinsip yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan paling sempurna didalam suatu negara. [6] Menurut Al Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).[6]

Disebutkan adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala kesempurnaannya (Imam) dan karena sangat sulit untuk ditemukan (keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan kedua. [4] Selanjutnya al-Farabi mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau kualitas seorang filsufnya tidak terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. [4] Oleh karena itu, Negara dapat berada diambang kehancuran.[4]

Referensi
  1.  Anwarudin Harahap. 1981. “Posisi Abu Nasr Al Farabi dalam Dunia Islam” , skripsi sarjana. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  2. Anthony Black. 2006. “Pemikiran Politik Islam”. Jakarta. Serambi
  3. H.M Rasyidi. Apa itu Syiah? Pelita : Jakarta. 1984. Hlmn 6-7
  4. Eduarny Tarmiji. 2004. “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
  5. H. Sirajuddin Zar, 2004. “Filsafat Islam”. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  6. Al-Farabi, Abu Nasr. ” Mabadi Ara Ahl Al-Madina Al Fadila”, (diterjemahkan oleh R. Walzer.” Al-Farabi on The Perfect State”), Oxford: Claendon Press, 1985
  7. Hans Wehr, A Dictionary of Moddern Written Arrabic ( Arabic- English), Ed. By: J Milton Cowan (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979)